Review film : WAKTU MAGHRIB
Ini film bener2 diluar ekspektasi!
Prolog menceritakan tiga anak bernama Karta, Drajat, dan Wati yang tengah bermain hinggal lewat maghrib di sisi hutan..
Karta dan Drajat ingin terus bermain, namun Wati ingin pulang dan mereka berpencar.
Kebon Pisang Sarangnya Pocong?
- A Thread -
Pasti pernah denger kan kalau pohon-pohon pisang itu tempat favorit buat pocong menampakkan diri?
Mana pas lagi cerita ada yg ngetok2 pintu. 😓
Nah ada cerita nih soal ini.
#bacahorror
Tentang Sekte Aliran Sesat
- A thread -
Sempet ramai dibahas tentang sekte aliran sesat yang ritualnya bener-bener diluar nalar..
Mungkin ada hubunganya dengan film-film yg mau tayang deket2 ini..
Sekalian kita bahas yuk!
#bacahorror
Mungkin cerita mengenai pocong yang mengelilingi rumahku sudah cukup mengerikan bagi kalian. Tapi percayalah, ada hal yang lebih mengerikan tersembunyi di tanah ini.
Kita akan update thread ini dalam waktu dekat..
***
Tanah Wingit tidak menjadi semengerikan itu begitu saja. Ada kisah dibalik berubahnya tanah itu menjadi wingit dan mengundang berbagai makhluk halus.
Tapi demi mengetahui kenyataan itu, Nyawalah yang menjadi taruhanya.
Kisah ini akan kita bahas di update berikutnya..
Akhirnya kisah ini selesai juga, mohon maaf bila menunggu cukup lama untuk updatenya.
Semoga kisah ini bisa diambil positifnya dan dibuang negatifnya.
Mimin harap, temen-temen bersedia untuk sekedar retweet dan like supaya thread ini bisa semakin ramai.
Terima kasih
SEWU DINO
Sebuah thread dari tahun 2019 yang masih membuat bulu kuduk berdiri ketika mengingat ceritanya...
Akhirnya teaser poster officialnya muncul. Coba kalian ngerasain apa aja pas liat poster ini?
#SewuDino
#Santet1000Hari
“Ada misteri mengerikan yang tersembunyi dibalik tanah yang terkutuk ini. Sebuah misteri yang membuat mereka yang tak kasat mata menetap dan tinggal di tanah yang sama dengan kami.”
- Tanah Wingit 1994
RUMAH DEMIT
Memang aneh, tapi aku masih menganggap kejadian semalam sebagai ‘perkenalan’ dari penunggu rumah. Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan bila kita melihat hal-hal aneh di tempat baru.
Bang Jaki yang sedari tadi menurunkan barang terlihat cukup aneh. Sesekali ia berhenti melangkah dan menelan ludah.
“Bang Jaki nginep dulu aja, pagi baru pulang. Ada kamar kosong kok,” ucap Ibu.
Di desa ini jarang yang memiliki televisi. Kalaupun ada masih hitam putih.
“Hihihi…”
Nyanyianku terhenti oleh suara tawa yang tiba-tiba terdengar. Gendis? Bukan.. suara tawanya berbeda dengan Gendis.
Merasa mulai tidak nyaman, akupun mengecilkan radioku dan pergi ke kasur.
POCONG DI HALAMAN RUMAH
Apa kejadian seperti itu sering terjadi? Tidak juga. Semenjak anak kecil di langit-langit rumah itu tidak ada lagi hal aneh yang aku lihat dalam beberapa hari.
“Gooll!! Melalui adu pinalti Brazil berhasil memboyong gelar juara dalam turnamen paling bergengsi , Piala Dunia Amerika Serikat 1994! Sebuah pertandingan sengit menghadapi Italia yang juga memiliki sejarah juara..”
PROLOG
Evan :
" Gua bakal lupa, waktu itu habis istirahat gua ke kamar mandi di deket gudang belakang. Waktu mau masuk, gua kira itu cuma bau bangkai binatang.
pas masuk ke dalem, disana ada mayat manusia yang badanya gosong nyangkut di sekat pemisah kamar mandi.
Jakarta 2012,
Praktek kerja lapangan, itu adalah salah satu syarat penting yang harus diselesaikan Ari, Surya, dan Evan sebagai syarat untuk memulai skripsinya.
Walau begitu, sampai saat ini aku tidak pernah mendengar cerita menyeramkan lagi tentang tanah wingit. Entah memang sudah tidak ada, atau memang aku yang sudah tidak pernah mencoba untuk mendekatinya lagi.
-TAMAT-
Ada alasan kenapa cerita ini baru diceritakan.
Beberapa kisah di cerita ini mungkin cukup sensitif sehingga narasumber enggan untuk menceritakan ini sebelumnya.
Namun setelah berlalu hampir sepuluh tahun setelah kejadian, beliau merasa ada baiknya cerita ini diceritakan.
Saat itu seluruh warga kampung yang menonton di pos ronda riuh merayakan kemenangan Brazil di Piala Dunia tersebut.
“Mukti, pulang sekarang ya!”
Ibu menghampiriku dari rumah dan berteriak memintaku untuk pulang.
TAMU DI TENGAH MALAM
Aku tidak pernah menyangka bisa bertahan cukup lama di rumah ini. Padahal hampir setiap tetangga yang ngobrol dengan kami selalu bertanya..
“Kok kalian betah tinggal di rumah itu?”
Tapi bila ada jalan untuk tinggal di tempat lain, saya tetap menyarankan kalian pindah,” Ucap Pak Sartiman.
Jumat kliwon, Sabtu Pahing… pada dua hari itu kami harus menjauh dari rumah. Menurut Mbah Sartiman, sosok-sosok itu akan muncul pada hari-hari itu.
“Ayok! kita mau main apa?” Tanya Gendis.
“Main Engklek yuk! Kamu bisa kan?” Ajakku.
“Jangan main engklek..” Balas Gendis.
“Dia kan nggak punya kaki…”
***
Sebuah angkutan umum sudah datang sejak tadi pagi. Ini adalah angkutan yang akan kami gunakan untuk pindah ke Jawa. Kami tidak membawa banyak barang. Sebagian perabotan sudah dijual dan sisanya diberikan ke pemilik rumah yang baru.
Andri menceritakan bahwa ia melihat aku dan keluargaku diincar sesuatu yang jahat. Ia memang dianggap anak yang cukup aneh di kampung, warga sudah menganggap ocehanya sebagai bualan belaka. Tapi sepertinya ia beniat baik, jadi tidak mungkin aku meledeknya.
Jujur kami tidak pernah tahu kalau bapak berhutang. Tapi Ibu sempat curiga setelah seorang temanya mengatakan sedang marak modus preman menagih utang pada anggota keluarga yang telah meninggal. Padahal belum tentu mereka berhutang.
“A—aku bantuin ibu aja deh,” ucapku yang sedikit ragu untuk kembali ke ruang depan lagi. Apalagi di kamar.
Karena kamar yang lain masih berantakan, malam itu kami tidur dalam satu kamar. Tapi walaupun lelah, malam itu aku sulit untuk tertidur saat mengingat kejadian tadi.
***
“Oke, makasi Ndri,” balasku.
“Hati-hati ya, sama jagain adikmu Gendis,” ucapnya sembari berlari meninggalkanku.
Aku menerima benda itu dan menyimpanya di dalam tas pakaianku.
***
“Iya pak.. temen-temen! Pamit dulu ya!” Teriakku.
“Ya, kalo sempet mampir!” Balas mereka singkat.
Akupun meninggalkan pos ronda dan pulang ke rumah kami yang terletak di pinggir kali Cibubur.
Tapi satu orang perempuan dan dua anak kecil yang miskin bisa berbuat apa melawan mereka.
“Terus kita kemana Bu?”
“Kita tingal di Jawa.. ada rumah peninggalan eyangmu di sana. Tidak ada yang akan mengusik kita selama kita di sana,” ucap Ibu.
“Iya Bu!” aku balas menjawabnya.
“Biarin aja dulu Lastri, seneng-seneng sebentar kan nggak ada salahnya. Paling Mukti jadi bisa ngelupain kejadian minggu lalu,” Ucap Pak Rohmat salah satu warga di kampung ini.
Ada sebuah pohon besar di depan rumah, namun pohon itu sudah kering dan tidak lagi berdaun.
Saat mobil bang Jaki terparkir di depan rumah. Ada seseorang yang segera menghampiri kami. Seorang pria kurus yang sedikit lebih tua dari ibu.
“Pak Ngadimin?” Sambut ibu.
Rumah ini sudah kami tempati semenjak aku belum lahir hingga akhirnya aku lulus SMP. Sebuah rumah ala kadarnya yang Bapak bangun di bantaran kali yang sangat besar ini.
“Kita bener harus pindah Bu?” Tanyaku.
Part Akhir - Balungmayit
Aku sedang menggali..
Iya , menggali di salah satu sudut di dapur rumah kami. Entah mengapa aku melakukan ini, namun semua ini terasa begitu jelas.
Sudut dapur ini adalah tempat yang jarang sekali kami perhatikan.
“Kalau waktunya banyak nggak papa Pak Rohmat, besok kami udah harus berangkat,” Balas Ibu.
“Wah cepet juga ya, ya sudah hati-hati.. Kalau sempat main-main ke kampung sini lagi ya,” Ujar pak Rohmat sambil mengacak-acak rambutku.
“Ia nak, ibu kan udah cerita. Setelah Bapak meninggal kemarin, banyak penagih hutang yang terus datang ke rumah. Bahkan sampai ngancam mau nyelakain kamu dan Gendis adikmu..” Jawab ibu.
…
Ibu menceritakan tentang sebuah rumah di desa tempat kelahiranya. Dulu eyang memiliki banyak tanah dan kebun, namun semua sudah dijual dan diwariskan ke anak-anaknya termasuk ibu.
Sayangnya lambat laun aku mulai mendengar desas-desus tentang rumah yang kutinggali.
“Kamu kok berani tinggal di rumah itu?”
Wisnu namanya. Dia teman yang baru ku kenal beberapa hari ini.
“Emangnya kenapa? Angker?” Tanyaku.
Sekelebat terlihat seorang nenek melintas di depan jendela rumah. Nenek itu berambut putih terurai berantakan dengan kebaya putih yang lusuh. Ia tertawa dengan mulutnya yang memerah.
Sontak bulu kudukku berdiri, tubuhku merinding.
Tapi ada satu rumah yang tidak pernah laku dijual. Saudara-saudara ibu pun tidak ada yang mau menempati karena rumah itu cukup berjarak dari desa, dan tidak jauh berbatasan dengan hutan.
Menjelang maghrib, kamipun sampai di rumah yang akan kami tinggali. Sebuah rumah yang cukup berjarak dari rumah lain di desa.
Ini rumah yang cukup besar. Semua dindingnya terbuat dari kayu yang sepertinya sudah sangat berumur.
Ini memang pertama kalinya Gendis melalui perjalanan sejauh ini. sebenarnya aku khawatir akan sekolahnya di desa, seharusnya sebentar lagi ia sudah masuk SD. Tapi aku hanya bisa percaya pada pertimbangan ibu.
…
“Beruntung ada yang mau mebeli rumah ini, uangnya bisa kita pakai untuk renovasi dan modal hidup disana,” tambah ibu.
“Iya bu, padahal cuma rumah begini saja ya?” Balasku.
“Andri?” Tanyaku sembari menghampirinya.
“Ini, kamu bawa ya,” ucap Andri.
Ada sebuah ukiran kayu berbentuk ular yang ia berikan padaku.
“Apaan nih?”
“Bawa aja, aku dapet mimpi nggak enak semalem,” ucapnya.
Merasa cukup lelah, akupun duduk di tikar yang sudah digelar oleh ibu. Rumah kayu dengan lampu remang-remang merupakan pemandangan yang cukup asing untukku.Apalagi suasana hening seperti ini tidak pernah kurasakan di rumah kami sebelumnya.
Tok… tok… tok…
“Eh, nggak.. nggak, saya langsung saja habis ini. Mau mampir dulu,” ucapnya dengan canggung.
Ia terlihat begitu waspada dengan rumah ini.
“Mbak Lastri benar yakin mau tinggal di sini?” Tanya Bang Jaki.
Hanya sedikit yang kami bawa menggunakan angkutan umum bercat biru itu yang akan mengantar kami ke rumah baru kami.
“Sudah masuk semua?” Tanya Bang Jaki, supir yang akan mengantar kami.
“Sudah Bang Jaki, tinggal orangnya. Kata ibu ngopi dulu aja, ada gorengan juga,” Balasku.
Hampir semua rumah di kampung ini tidak berijin, namun kami semua merasa aman karena ada yang sudah tinggal di tempat ini lebih dari dua puluh tahun dengan tenang.
…
Bapak meninggal dua minggu yang lalu. Setelahnya, kami kaget ada banyak penagih utang yang menagih ke rumah. Mereka bilang bapak berhutang pada mereka. Tak hanya satu, tapi banyak.
“Kamu pasti wis tau kalo rumah itu lama nggak ditinggalin kan? Tau nggak kami nyebut rumah itu dengan sebutan apa?”
Aku menggeleng.
“Rumah demit..” ucap Wisnu.
“Iya lah mas, sekarang cuma rumah ini yang bisa kami tinggali,” balas Ibu.
Setelah membantu kami, Bang Jaki segera pamit. Padahal hari sudah larut malam. Pak Ngadiminpun mengantarkan kami makanan kecil dan minuman panas untuk kami dan buru-buru meninggalkan kami.
…
“Namanya anak kecil, mungking ngobrol sama bonekanya atau teman khayalanya,” jawab ibu dengan tenang.
Malam ini aku sudah tidur di kamarku sendiri. Sedangkan Gendis tidur bersama ibu. Ini adalah salah satu hal baik dari pindah rumah. Aku bisa punya kamar sendiri di sini.
Mayatnya sudah membiru tapi matanya melotot.
Dia manggil orang kampung untuk evakuasi, tapi pas balik ke sana. Mayatnya udah nggak ada,” ucap Wisnu.
Aku cukup merinding mendengar ceritanya. Rasanya aku semakin tidak yakin untuk tinggal di rumah ini.
Dia bercerita bahwa setiap anak-anak, bahkan warga desa yang tidak berkepentingan dilarang untuk mendekat ke rumah ini. Banyak isu mengerikan yang ia dengar.
“Dulu pernah ada yang lewat rumahmu itu, dan nemuin mayat terbaring di pekarangan.
Bang Jaki dan Pak Ngadiminpun membantu kami sementara ibu menyalakan lampu teplok yang sudah tersedia di tembok rumah.
“Belum ada listrik bu?” Tanyaku.
“Sudah.. tapi masih harus lapor PLN dulu biar dipasang lagi. Paling seminggu sudah nyala,” balas ibu.
Itu adalah kalimat pertama yang mereka ucapkan saat saya bertanya, "Seserem apa kejadianya?"
Tapi itu hanya sekilas, masih ada hal yang bikin saya nggak habis pikir saat mendengar cerita dari mereka.
Siapin kopinya, kita simak cerita ini pelan-pelan.
Sepertinya aku harus tidur cepat malam ini.
…
Cklek!
Aku terbangun saat satu sisi kaset pita sudah selesai diputar dan radio tapeku mati dengan sendirinya. Aku mengembalikan kaset itu ke dalam tempatnya dan ingin segera kembali tidur.
“Lastri, gimana perjalananya?”
“Lumayan pak, pas lagi panas-panasnya,” Jawab Ibu.
“Rumahnya sudah saya bersihkan, Tapi ya seadanya. Lebih baik malam ini istirahat di rumah saya saja besok baru beres-beres,” Ucap Pak Ngadimin.
KAMAR MANDI BELAKANG
Kejadian hari pertama itu membuat Ari sedikit cemas ketika sendirian di ruangan kantor.
Tapi beberapa hari awal mereka disibukan dengan pekerjaan mereka dan tak sempat memikirkan hal yang aneh-aneh.
Deg…
Mendengar penjelasan itu seketika bulu kudukku berdiri. Berarti selama ini kami tinggal di tanah kuburan?
“Ini ‘Tanah Wingit’ Mbak Lastri tidak pantas untuk dijadikan rumah tinggal,” tambah Pak Ngadimin.
Di kampung ini setelah adzan berkumandang seluruh kampung akan menjadi sepi. Jarang sekali ada yang keluar rumah.
Untungnya ibu sudah menyalakan lampu luar. Setidaknya setelah listrik menyala, rumah ini tidak terasa menyuramkan seperti awal kami datang.
Cerita dari Wisnu membuatku kepikiran. Aku penasaran apa ibu sudah tahu tentang keadaan rumah ini sebelum memutuskan untuk pindah?
Menjelang maghribpun aku bergegas untuk pulang.
Bang Jakipun masuk ke rumah sembari menikmati kopi dan gorengan yang dibuatkan oleh ibu. Sementara itu ibu memeriksa kembali barang-barang yang sudah masuk ke mobil.
“Mukti!” sebelum menyusul ke rumah tiba-tiba seorang temanku memanggil dari jauh.
Sialnya, habis itu kepalanya putus jatuh ke lantai dan liatin gua.."
Ari :
"Sempet ketiduran, dan gak sengaja di lantai dua sampai jam tujuh malem. Pas kebangun dikira masih sore dan masih pada kerja.
kemungkinan sosok yang menghantui di kantor masnya adalah korban-korban itu,” cerita salah satu satpam.
“Tapi itu kan cuma gosip, jangan digede-gedein,” sanggah pak Dimas.
“Iya sih, malah katanya ada cerita lebih serem lagi tentang kantor masnya,” balas satpam itu lagi.
“Jangan bohong,” ucapku dengan santai, tapi sepertinya Gendis kesal karna aku menekanya.
“Ya udah kalau Mas Mukti mau tau, tar juga ketemu,” jawabnya sembari membawa piringnya ke tempat cuci piring dan meninggalkanku.
Ari bersiap memundurkan motornya, tapi tiba-tiba ada setetes cairan yang membasahi pipinya dari atas.
Awalnya ia tidak curiga dengan apapun, sampai saat ia melihat ke arah balkon lantai dua kantor.
Hujanpun semakin deras bersahutan dengan suara kilat yang menyambar. Saat itu aku dari kilatan cahaya samar-samar aku melihat bayang manusia terpantul ke gorden jendela kami.
Cek…tcek… tcek…
Teman Gendhis
“Tanah itu jahat! Percaya atau tidak, tanah itu terus mencari korban..”
Seorang pria bungkuk yang sudah sangat berumur menghadangku saat sedang menemani ibu di pasar.
Ia menghampiriku saat sedang menunggu ibu dan gendis yang sedang memilih sayuran.
Ada suara dari luar..
Tok... tok...
Setahuku rumah kami cukup jauh dari warga lain. Aku malas mencari tahu dan memilih untuk tetap bersantai di tikar. Tapi suara itu mendekat ke jendela.
Aku menoleh ke jendela…
“Bu, Gendis nggak mau ke rumah,” rengek Gendis.
Malam itu Pak Ngadimin mengijinkan kami untuk menginap di rumahnya. Besoknya ia mengantar kami kembali ke rumah bersama seorang yang ia panggil dengan nama Mbah Sartiman. Pria yang sudah cukup berumur dan rambutnya sudah memutih.
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Akupun menceritakan pada ibu tentang kejadian tadi. Tapi ibu menganggap bahwa Gendis sedang asik bermain dengan imajinasinya.
Wisnu terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Ini tak ceritain, biar kamu hati-hati. Tapi jangan bilang aku yang cerita,” balas Wisnu.
Aku semakin penasaran saat ia mengatakan hal itu. Memangnya ada hal apa di rumah yang kutinggali?
“Gendis takut bu..” Tangis gendis yang ternyata juga melihat sosok itu.
“Ke rumah pak Ngadimin, Kita ke sana dulu le,” perintah ibu yang segera mengajak kami pergi secepatnya.
…
Benar saja, di sudut itu terlihat seorang anak laki-laki berwajah pucat memandangiku dengan terbalik. aku tidak bisa melihat kakinya, yang terlihat hanya tubuhnya dari kepala hingga ke pinggang menembus langit-langit.
Bahkan sebelum kalian tinggal di sana, kami warga desa jarang sekali ada yang mau mendekat ke sana di malam hari,” Ucap Pak Ngadimin.
Aku baru mendengar soal ini. Berarti sebenarnya Ibu sudah tahu bahwa rumah yang kami tinggali memang bermasalah.
“Halah Pak, saya sudah ngerepotin minta dibersihkan malah ngerepotin nginep lagi,” Balas Ibu.
Ibu menolak untuk mampir ke rumah Pak Ngadimin dan memilih untuk terus menurunkan barang-barang di mobil.